KONEK NEWS – Kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti daging sapi, bawang putih, gula, dan garam, menuai sorotan tajam.
Diumumkan dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, pada 8 April 2025, kebijakan ini bertujuan merampingkan birokrasi, memutus praktik monopoli, dan memudahkan pelaku usaha mengimpor komoditas esensial.
Namun, di balik niat reformasi, kebijakan ini menyimpan risiko serius yang dapat mengguncang ekonomi domestik, terutama bagi petani, nelayan, dan industri lokal.
Risiko Penghapusan Kuota Impor
Banjir Impor dan Ancaman bagi Produsen Lokal
Penghapusan kuota impor berpotensi membuka keran impor secara masif, mengakibatkan banjir produk asing di pasar domestik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor 12 komoditas pangan utama (beras, jagung, gandum, kedelai, gula, dll.) melonjak dari 22,56 juta ton pada 2014 menjadi 34,35 juta ton pada 2024.
Tanpa kuota, angka ini diperkirakan meningkat tajam, mengingat produk impor sering kali lebih murah karena skala ekonomi dan subsidi di negara asal.
Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan (TERASI Pangan) memperingatkan bahwa petani, nelayan, dan peternak lokal, yang mayoritas adalah pelaku usaha kecil, akan kalah bersaing.
Produksi daging sapi lokal, misalnya, yang tumbuh 2,44% pada 2022, terancam tergerus oleh impor Australia atau Brasil yang lebih kompetitif.
Hambatan Swasembada Pangan
Kebijakan ini bertentangan dengan visi swasembada pangan yang menjadi salah satu pilar Asta Cita Prabowo. Ketergantungan pada impor pangan, yang sudah meningkat dalam dekade terakhir, berisiko memburuk.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menyoroti bahwa impor bebas dapat melemahkan upaya peningkatan produksi lokal, seperti program pompanisasi sawah dan intensifikasi lahan.
Dengan impor yang lebih mudah, insentif untuk mengembangkan pertanian dalam negeri bisa meredup, memperpanjang ketergantungan pada pasokan global yang rentan terhadap fluktuasi harga dan gangguan rantai pasok.
Kerusakan Industri Lokal
Penghapusan kuota impor tidak hanya mengancam sektor pangan, tetapi juga industri lain seperti tekstil dan garam.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia melaporkan bahwa 70% pengusaha tekstil berisiko beralih menjadi pedagang jika pasar dibanjiri produk impor murah, terutama dari Tiongkok, yang memiliki kelebihan kapasitas produksi.
Sementara itu, petani garam di Madura menghadapi krisis dengan harga jual Rp800/kg, jauh di bawah biaya produksi Rp830/kg. Impor garam yang bebas dapat mematikan usaha mereka, seperti yang disuarakan oleh Anggota DPRD Jawa Timur Nurul Huda.
Ketidakpastian Regulasi dan Multitafsir
Arahan Prabowo masih bersifat umum, tanpa daftar komoditas yang jelas atau mekanisme pengganti kuota, seperti tarif impor.
Hal ini menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha dan regulator. Yeka Hendra Fatika dari Ombudsman RI mengkritik kurangnya basis data yang kuat untuk kebijakan ini, menegaskan bahwa setiap komoditas memiliki karakteristik berbeda—misalnya, garam dan gula konsumsi bisa diproduksi lokal, sementara gandum bergantung pada impor.
Ketidakjelasan ini berisiko memicu kebijakan yang serampangan dan tidak terukur.
Dampak Sosial dan Kedaulatan Pangan
Banjir impor dapat memperburuk ketimpangan sosial, terutama bagi perempuan petani dan nelayan yang berperan besar dalam sistem pangan lokal.
Penurunan harga produk lokal akibat persaingan dengan impor akan mengurangi pendapatan keluarga petani, melemahkan kedaulatan pangan di pedesaan.
TERASI Pangan menilai kebijakan ini melanggar UU Pangan dan UU Perlindungan Petani, yang mengamanatkan perlindungan terhadap produksi lokal.
Risiko Perang Dagang dan Ekonomi Global
Meskipun kebijakan ini merupakan respons terhadap ancaman tarif resiprokal 32% dari AS, penghapusan kuota tanpa strategi matang dapat membuat Indonesia rentan dalam perang dagang.
Produk impor murah dari Tiongkok atau negara lain berpotensi menggempur pasar domestik, sementara ekspor Indonesia menghadapi hambatan tarif di pasar global.
Hal ini dapat memperburuk neraca perdagangan, yang pada 2024 mencatat defisit untuk beberapa komoditas pangan.
Komentar Pengamat
Bhima Yudhistira (Direktur Eksekutif Celios)
“Ini kebijakan yang gegabah dan berpotensi jadi blunder ekonomi. Membuka keran impor tanpa perlindungan industri lokal sama saja mengundang Tiongkok untuk membanjiri pasar kita.
Prabowo seolah lupa bahwa petani dan pengusaha kecil adalah tulang punggung ekonomi, bukan konglomerasi importir! Pemerintah harusnya belajar dari krisis tekstil dan garam, bukan malah memperparahnya.”
Andry Satrio Nugroho (Kepala Pusat Indef)
“Prabowo ingin reformasi, tapi ini seperti membuka pintu lebar-lebar untuk kehancuran. Banjir impor akan mempercepat deindustrialisasi, terutama di sektor yang sudah rapuh.
Tanpa regulasi ketat, kebijakan ini cuma akan menguntungkan segelintir importir besar, sementara petani dan buruh jadi korban. Ini bukan deregulasi, ini kekacauan!”
Dwi Astuti (Ketua Pengurus Bina Desa)
“Kebijakan ini menghianati petani, terutama perempuan yang berjuang di sektor pangan lokal. Prabowo bilang mau swasembada, tapi malah membuka jalan untuk impor bebas. Kedaulatan pangan kita dipertaruhkan demi kepentingan pasar global. Ini bukan keberanian, ini ketidakpedulian terhadap rakyat kecil!”
Daniel Johan (Anggota Komisi IV DPR)
“Saya heran, di mana logika kebijakan ini? Kita sedang dorong pompanisasi dan swasembada pangan, tapi malah membuka impor sebebas-bebasnya. Ini seperti menampar petani yang sudah berjuang. Prabowo harus dengar suara petani dan nelayan, bukan cuma pengusaha besar yang haus untung!”
TERASI Pangan (Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan)
“Kebijakan ini adalah langkah mundur yang melanggar UU Pangan dan UU Perlindungan Petani. Prabowo seolah menyerahkan nasib pangan rakyat ke tangan importir dan pasar global. Jika diteruskan, ini akan jadi bencana bagi petani, nelayan, dan kedaulatan pangan nasional. Kami menuntut kebijakan ini dikaji ulang!”
Kebijakan penghapusan kuota impor komoditas strategis yang diusung Presiden Prabowo Subianto berpotensi memicu dampak negatif yang luas, mulai dari banjir impor, kerusakan industri lokal, hingga hambatan bagi swasembada pangan.
Risiko ini diperparah oleh ketidakjelasan regulasi dan kurangnya perlindungan bagi produsen domestik.
Pengamat menilai kebijakan ini sebagai langkah gegabah yang lebih menguntungkan importir besar ketimbang petani dan pelaku usaha kecil.
Untuk mencegah bencana ekonomi, pemerintah perlu segera merumuskan regulasi pengganti yang transparan, berbasis data, dan berpihak pada kedaulatan pangan nasional.
Tanpa langkah hati-hati, kebijakan ini bisa menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia.

Leave a Reply