KONEK NEWS – Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan bahwa mayoritas ahli ekonomi menilai kondisi ekonomi Indonesia mengalami kemunduran di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Survei ini digelar untuk mengevaluasi 100 hari pertama kepemimpinan mereka, yang dimulai sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024.
Survei yang dilakukan secara daring pada 14-24 Februari 2025 ini melibatkan 42 pakar ekonomi dari berbagai latar belakang, termasuk akademisi, peneliti, praktisi sektor swasta, dan perwakilan organisasi multinasional.
Responden berasal dari dalam dan luar negeri, memberikan perspektif domestik maupun internasional terhadap kinerja ekonomi Indonesia.
Data dan Temuan Utama
Berdasarkan hasil survei, sebanyak 55% atau 23 dari 42 responden menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan tiga bulan sebelumnya.
“Bahkan, tujuh pakar menilai kondisinya jauh lebih buruk,” tulis LPEM UI dalam laporan bertajuk LPEM Economic Experts Survey Semester I 2025, yang dirilis pada 16 Maret 2025.
Sementara itu, 11 pakar menilai situasi ekonomi stagnan, dan hanya satu responden yang melihat adanya perbaikan.
Para ahli juga pesimistis terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi ke depan. Sebanyak 23 responden memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada periode berikutnya akan lebih rendah dari angka saat ini, meskipun tidak ada yang memprediksi kontraksi signifikan.
“Dengan sebagian besar pakar memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah, ini menunjukkan pandangan yang umumnya pesimis,” demikian bunyi laporan tersebut.
Terkait kebijakan fiskal, mayoritas responden menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah tidak efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi maupun mendorong pertumbuhan. Sebanyak 28% (12 responden) menyebut kebijakan fiskal “sangat tidak efektif,” sementara 60% (25 responden) menilainya “sedikit tidak efektif.”
Hanya segelintir yang melihat adanya dampak positif. “Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan kebijakan untuk meningkatkan efektivitas,” kata LPEM UI.
Kebijakan moneter juga mendapat sorotan serupa. Sebanyak 38% (16 responden) berpendapat bahwa kebijakan moneter tidak memiliki efek nyata, dan 13% (13 responden) menganggapnya “sedikit tidak efektif.” Laporan tersebut menegaskan, “Arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru dalam 100 hari pertamanya secara luas dinilai tidak efektif.”
Komentar Pengamat
Beberapa pengamat ekonomi turut mengomentari hasil survei ini. Teuku Riefky, ekonom dari LPEM FEB UI, menyatakan bahwa kebijakan ekonomi awal pemerintahan Prabowo-Gibran belum menyentuh akar permasalahan struktural.
“Kebijakan yang ada belum mampu menyelesaikan penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan rentan miskin. Fokus pada program seperti Makan Bergizi Gratis belum menyasar peningkatan produktivitas atau lapangan kerja,” ujarnya dalam wawancara dengan VOA Indonesia pada Januari 2025.
Sementara itu, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), memberikan rapor merah pada tim ekonomi Prabowo-Gibran.
“Indikator ekonomi seperti tren meningkatnya imbal hasil surat utang pemerintah, performa IHSG yang turun 5,82% dalam tiga bulan terakhir, PHK di sektor padat karya, dan pelemahan daya beli yang berlanjut jadi bukti kinerja buruk,” katanya.
Ia juga menyoroti kurangnya persiapan menghadapi dinamika global, seperti kebijakan Donald Trump di masa kepemimpinan keduanya.
Pengamat lain, Yudistira Hendra Permana dari Universitas Gadjah Mada, mempertanyakan keberlanjutan kebijakan populis seperti penghapusan utang UMKM.
“Apakah ini langkah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, atau justru tanda bahwa pemerintah kehabisan opsi?” tanyanya dalam evaluasi 100 hari pemerintahan pada Februari 2025.
Implikasi dan Tantangan
Hasil survei ini mencerminkan skeptisisme luas di kalangan ahli ekonomi terhadap arah kebijakan pemerintahan baru.
Ketidakefektifan kebijakan fiskal dan moneter, ditambah dengan persepsi memburuknya iklim bisnis serta pasar tenaga kerja, menjadi sinyal bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam.
Sebanyak 17 dari 42 pakar memperkirakan lingkungan bisnis akan memburuk, dan 14 pakar memprediksi pasar tenaga kerja juga akan semakin sulit.
Meskipun demikian, survei ini kontras dengan beberapa laporan kepuasan publik yang lebih optimis, seperti dari Litbang Kompas yang mencatat kepuasan 80,9% pada Januari 2025. Perbedaan ini menunjukkan adanya jurang antara persepsi masyarakat umum dan pandangan para ahli ekonomi.
Pemerintahan Prabowo-Gibran kini dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan bahwa mereka mampu membalikkan tren negatif ini.
Tanpa langkah konkret yang efektif, optimisme awal yang tinggi berisiko memudar, meninggalkan ekonomi Indonesia dalam ketidakpastian yang lebih besar.

Leave a Reply